“Kebohongan telah menyebar ke seluruh dunia, sedangkan kebenaran baru bersiap-siap memakai celana.” (Kovach&Tom, 2011)
Penyebaran informasi hoax di Indonesia seperti tidak pernah habis. Salah satu kasus hoax yang menarik perhatian publik hari ini adalah berita bohong dari seorang mantan aktivis mengenai penganiyaan dirinya. Beredar foto-foto yang menunjukkan wajah pelaku lebam di media sosial. Banyak simpatisan khususnya tokoh publik yang mempercayai berita tersebut. Tak lama kemudian, pelaku mengakui jika lebam di wajahnya karena melakukan sedot lemak. “Kali ini saya pencipta hoaks terbaik, ternyata menghebohkan sebuah negeri,” tutur pelaku yang dikutip dari METROTV NEWS.com.
Melihat kejadian tersebut, mimpi buruk Bill Kovach dan Tom Rosenstiel di abad 20 sudah menjadi kenyataan. Tergantinya posisi jurnalisme dengan berita yang bohong (Hoax) menjadi perenungan di dunia pers. Berita hoax berisikan isu-isu sensasional tanpa didasari dengan data yang jelas dijadikan sebagai konsumsi publik setiap hari. Dengan adanya perkembangan media elektronik membuat keadaan berita hoax tampak mengerikan. Jika dulu berita disebarkan melalui media cetak, kini berita bisa didapatkan dan disebarkan melalui blog secara bebas. Selain blog, media sosial juga tempat strategis untuk penyebaran berita.
Menurut ahli komunikasi dari Universitas Indonesia Proffesor Muhammad Alwi Dahlan menjelaskan, keuntungan menyebarkan hoax bagi si pelaku sebagai interaksi sosial untuk mendapatkan perhatian. Selain itu, dikutip dari CNN Indonesia Septiaji Eko Nugroho dari Masyarakat Anti Hoax menjelaskan pelaku yang menyebarkan berita hoax di media sosial akan mendulang keuntungan. Karena, trafik pengunjung berita hoax lebih besar meskipun nama medianya tidak dikenal banyak orang.
Kebanyakan dari pembaca, mempercayai sebuah berita tanpa tahu kebenaran berita tersebut. Lalu, membagikan berita hoax melalui sosial media. Mereka tidak terlalu pintar dalam memilih konten berita, mereka tidak bisa membedakan berita yang berisikan fakta dengan berita yang berupa opini. Berdasarkan analisis S. Syam Sumdar, co-director dari Media Effects Research Laboratory, Pennsylvania State University yang dimuat di The Conversation, menjelaskan fenomena berita hoax, diakibatkan pola konsumsi media online. Di mana para pembaca berita online kurang peduli terhadap sumber data yang terpercaya. Akibatnya mereka kesulitan memilah mana situs berita yang terpercaya, dan mana yang tidak. Lain halnya dengan Michel Shermer, penulis The Believing Brain, dalam wawancaranya dengan Huffington Post,‘ketidaksesuaian kognitif’ sebagai pemicu munculnya kepercayaan dengan berita hoax.
Cendrung dari mereka yang adalah pembaca dan pelaku yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Dikutip dari halaman CNN Indonesia, Teguh Prasetya, Head of Strategic Policy Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) di Jakarta menjelaskan, masyarakat Indonesia dengan pendidikan cukup tinggi masih rentan dengan informasi palsu. Hal tersebut ditemui dari hasil survei yang diselenggarakan Mastel menunjukkan 54 persen responden yang terlibat tidak yakin saat dihadapkan konten hoax.
Pembaca yang sering membaca berita hoax akan mengalami gangguan mental, kekerasan, dan perasaan tidak aman. dr. Graham Davey, ahli psikologis dari Inggris menjelaskan pembaca yang membaca berita negatif akan mempengaruhi suasana hati. Terutama jika di dalam berita tersebut ada penekanan penderitaan yang dibumbui oleh komponen emosional.
Oleh karena itu sebagai pembaca, kita harus mampu menganalisa dan berpikir kritis terkait informasi yang didapat. Pembaca sering menggabungkan pemahaman fakta dengan keyakinan subjektif sehingga muncul pertanyaan yang bersifat propaganda. Kita perlu pemahaman akan fakta dan akurasi dari apa yang terjadi. Sikap skeptis merupakan modal awal dalam membangun pemahaman tersebut.
Menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku mereka yang berjudul Blur: Bagaimana Mengetahui di era Banjir Informasi menjelaskan, pada dasarnya cara berpengetahuan skeptis adalah menanyakan kebenaran dan mengetahui bagaimana bertanya akan kebenaran berita. Kebenaran berita merupakan kesimpulan dari apa yang terjadi, berdasarkan bukti yang tersedia pada saat itu. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel juga mengungkapkan, kebenaran akan berevolusi sepanjang waktu terkait dengan bukti baru yang didapat. Penanda sebuah berita bisa dipercaya dengan adanya pikiran terbuka dan skeptis dari wartawan dan pembaca.
Dengan banyaknya media berita yang muncul dan saling berkompetisi mengakibatkan banyaknya laporan berita yang tidak berimbang. Oleh karena itu, pembaca harus memiliki keterampilan dan menganalisa informasi, sehingga bisa membedakan yang palsu dan fakta. Pembaca juga mampu menjadi seorang editor dan pengolah informasi secara mandiri. Selain pembaca, hal utama yang harus dilakukan wartawan dan media dalam melawan berita hoax adalah mengedepankan jurnalisme verifikasi, memeriksa berulang untuk mendapatkan suatu kebenaran dalam menyampaikan informasi atau berita kepada publik, sehingga masyarakat memperoleh berita yang benar.