Kami mewawancarai Dedi Supendra, seorang akademisi di bidang Teknologi Pendidikan, sekarang mengajar sebagai Dosen Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan di Universitas Negeri Padang. Ia menempuh perjalanan studi yang cukup panjang untuk dapat belajar di University of Manchester, United Kingdom.
1. Apa motivasi Anda untuk melanjutkan studi ke Manchester?
Ada hal-hal yang harus diperjuangkan di dalam hidup. Salah satunya adalah impian; keinginan untuk mendapatkan sesuatu dengan alasan tertentu. Ke luar negeri telah menjadi impian saya sejak lama, puluhan tahun. Sewaktu kecil, impian saya hanya sampai di tahap ingin melihat dan merasakan bagaimana luar negeri itu. Saya beruntung, Tuhan kemudian mengabulkan impian saya, tidak hanya untuk melihat dan merasakan tinggal di luar negeri, tapi Tuhan juga memberi bonus dengan “mendapatkan pendidikan di luar negeri”.
Namun, saya percaya bahwa Tuhan tak sembarangan mengabulkan impian seseorang. Seseorang tersebut harus berusaha sekeras-kerasnya dulu hingga akhirnya Ia sampai pada masa dimana ia menyerah dan menyerahkan segala hasil dari usaha tersebut kepada Allah. Saat itulah, saat paling sakral dalam meraih impian; saat kita tak berharap apa-apa selain hasil terbaik dari apa yang diberikan oleh Tuhan yang Maha Esa dari doa-doa dan usaha kita yang paling maksimal.
Pada dasarnya, punya impian itu sangatlah mudah. Apapun jenisnya, kita tinggal mengucapkan apa yang kita inginkan. Ingin ini. Ingin itu. Sangat sederhana. Sayangnya, tak semua orang sanggup melakukannya. Alasannya karena tak sanggup menerima risiko kegagalan yang menyertainya. Ada yang khawatir, semakin tinggi angan-angan, semakin sakit ketika jatuh. Namun, di situlah tantangannya. Saat kita jatuh lalu bangkit dan berjuang lagi untuk menggapai yang kita mau.
Meraih impian itu, dalam kasus saya, sungguh tidak gampang. Bertahun-tahun, jatuh-bangun, gagal, berjuang sendiri, diremehkan, krisis kepercayaan diri, dan merasa kehilangan harapan datang silih-berganti. Permasalahan finansial apalagi. Tapi, saya tak ingin berhenti. Saya akan memperjuangkan harapan saya. Saya tak ingin menyerah begitu saja, sampai impian itu menjadi kenyataan. Sebab dalam mimpi itu, tidak hanya ada kebahagiaan saya, tetapi juga kebahagiaan keluarga dan orang-orang yang telah mendukung dan diam-diam mendoakan saya, ikut sedih ketika saya gagal, dan turut menyemangati saya ketika terjatuh.
Barangkali, merekalah motivasi yang selalu menjadi pemantik api semangat yang menyala di dalam diri saya; kebahagiaan tak terkira melihat orang-orang bahagia karena kita bahagia. Tentu saja, setiap orang memiliki motivasi yang berbeda. Jadi, kita hanya perlu menemukan motivasi yang cukup kuat untuk mempertahankan impian.
2. Apa kendala terberat dan bagaimana mengembalikan semangat untuk mencoba kembali setelah gagal di beasiswa sebelumnya?
Hal yang paling berat dalam meraih impian adalah meyakinkan diri bahwa kita layak untuk memimpikan hal tersebut dan siap dengan risiko yang akan diterima; apakah gagal atau berhasil. Jika gagal tak menyalahkan. Jika berhasil, tak berlebihan dan tak menjatuhkan orang lain.
Yang sering saya lakukan ketika gagal, selain sedih dan kecewa adalah merefleksi diri. Jika saya gagal di administrasi, saya baca lagi berkas-berkas yang saya kirimkan, saya lihat esai-esainya, dan lain-lain. Dengan begitu, saya bisa tahu bagian mana yang harus diperbaiki.
Selain itu, untuk menguatkan mental sekaligus menghibur, saya baca cerita-cerita orang-orang yang pernah gagal dalam hal yang sama melalui tulisan-tulisan mereka di blog. Dengan begitu, saya merasa tak sendiri, bahwa orang-orang sukses pun pernah mengalami kegagalan dan kita bisa belajar dari mereka bagaimana cara tidak larut dalam kesedihan karena gagal. Dengan begitu, saya menyadari bahwa kegagalan saya saat itu belumlah seberapa dibanding orang-orang yang telah lebih dulu mendapatkan impiannya.
Jika saya gagal satu kali sudah menyerah, bagaimana dengan orang-orang yang telah gagal belasan bahkan puluhan kali? Mereka tidak menyerah dan pada akhirnya meraih apa yang mereka inginkan. Dalam agama saya, diajarkan bahwa nasib saya tidak akan berubah jika tidak saya sendiri yang mengubahnya dengan berikhtiar. Saya percaya, ada Dzat yang maha kuasa yang mampu mengabulkan segalanya. Saya menyandarkan impian saya kepada-Nya dan ketika itu saya merasa perjalanan menggapai impian itu walaupun berat tapi mungkin.
Saya adalah orang yang percaya bahwa tak ada kesuksesan tanpa kerja keras. Barangkali karena saya tak memiliki akses istimewa yang bisa memudahkan saya untuk mendapatkan apa yang saya inginkan. Keistimewaan yang saya miliki dan patut saya syukuri adalah bahwa saya diberikan kehidupan oleh Allah SWT. Artinya, saya diberikan kesempatan untuk mencoba banyak hal. Dan saya ingin memaksimalkan peluang itu untuk mewujudkan impian saya.
3. Apa saja suka duka selama menempuh studi di Manchester?
Belajar di Manchester terasa sangat singkat. Ibaratnya, saat kita baru mulai belajar merangkak, kita sudah harus disuruh berlari. Kita baru mendapatkan pola belajar yang cocok, tapi semester berikutnya kita sudah harus disuruh menulis tugas akhir dan disertasi. Dalam keterburu-buruan itu, rasanya saya sungguh banyak belajar. Dan semakin saya banyak belajar, semakin saya merasa kecil dan bodoh. Saya makin khawatir, apakah saya bisa mengaplikasikan ilmu yang saya dapatkan di sini kepada masyarakat luas? Saya seringkali mempertanyakan, apakah saya layak?
Di sana, kita dituntut untuk lebih mandiri dalam belajar. Kita yang menentukan kecepatan belajar kita sendiri. Dosen telah menyediakan materi, telah meluangkan waktu untuk berdiskusi. Sisanya tergantung kita. Ini bisa bermakna positif dan negatif. Kita harus bisa mengatur waktu dengan baik sehingga tugas tidak menumpuk. Kapan harus membaca artikel, kapan harus mulai mengerjakan tugas, kapan harus bermain dan ngobrol bersama teman. Tapi, entah karena memang manajemen waktu saya yang jelek atau karena kemampuan saya belum maksimal, atau usaha saya belum maksimal, menulis 4-6 esai dalam sebulan ketika masa tugas akhir selalu membuat saya babak-belur.
Ada satu pengalaman yang mungkin tak akan pernah bisa saya lupakan dalam hidup perihal belajar di Manchester ini. Suatu hari, setelah sesi selesai, saya bertanya kepada dosen tentang materi yang baru saja kita pelajari bersama. Ia menjelaskan. Saya bertanya lagi. Ia menjelaskan kembali. Saya masih belum mengerti juga, sehingga saya merasa tak enak kepada dosen tersebut. Saya meminta maaf karena menanyakan hal yang sama berulang-kali. Tapi dia menjawab, jika kamu tidak mengerti, itu wajar karena kamu bertanya untuk belajar. Jangan meminta maaf untuk itu. Harusnya sayalah yang salah karena saya tidak bisa menyampaikan informasi yang mudah dimengerti oleh orang lain.” Saya merasa sangat dihargai karena kata-kata itu. Sejak saat itu, saya berjanji, saya akan berusaha untuk tidak merendahkan orang yang tidak tahu.
Apalagi sekarang, saya juga menjadi seorang dosen. Saya masih harus banyak belajar untuk bisa menjadi pendidik yang baik, salah satunya yaitu belajar menghargai mahasiswa, walaubagaimanapun latar belakang dan kemampuannya.
4. Bagaimana Anda menggambarkan perjalanan studi dalam satu kata? Kenapa?
Tiga kata; sulit tapi nagih. Tiap akhir semester, khususnya ketika menyelesaikan tugas akhir, adalah masa dimana keyakinan saya selalu dipertanyakan. Tidak hanya memikirkan ide yang akan ditulis, saya masih harus belajar memahami bagaimana cara membuat esai yang baik, ditambah lagi bahasa Inggris saya yang pas-pasan. Begadang hampir tiap malam. Tidur di kampus. Pulang subuh. Makan kurang. Mandi jarang. Merasa mual ketika buka laptop. Trauma melihat kalimat-kalimat akademis. Dampaknya sampai segitunya bagi saya. Tetapi, ada suatu kenikmatan yang tak bisa saya gambarkan ketika saya berhasil menyelesaikan semua tanggung jawab itu.
Rasa percaya diri saya meningkat, kemudian menyadari bahwa, ternyata saya bisa dan ternyata saya tidak sebodoh yang saya pikirkan. Apalagi, di sana, sumber-sumber referensi yang dibutuhkan tersedia cukup lengkap. Suasananya relatif nyaman. Dan berada di lingkungan orang-orang yang memiliki motivasi dan perjuangan yang sama, membuat saya merasa bahwa saya tepat berada di antara mereka. Saya ingin mengulangi itu sekali lagi. Barangkali akan lebih sulit, tapi saya ingin mencoba, sekali lagi.
5. Dalam konteks pembelajaran secara luas, apa saja yang dapat direfleksikan dari perjalanan studi di Inggris?
Belajar adalah perjalanan untuk mengenali dan menerima diri sendiri. Ketika melihat ke belakang, mengingat kembali apa yang telah saya lewati, saya melihat diri saya yang sama sekali berlain dengan diri saya yang sekarang. Di Inggris, saya bertemu dengan orang-orang yang sama sekali baru. Awalnya saya berpikir, apakah saya bisa bertahan atau malah ketinggalan dengan rasa percaya diri yang makin tergerus. Tapi, perlahan-lahan saya mulai beradaptasi, membiasakan diri dengan apa yang tidak biasa saya lakukan. Saya merasa jauh lebih baik. Perbedaan budaya dan sistem membuat saya lebih hati-hati dalam bertutur, bertindak dan menilai. Saya juga lebih menghargai apa yang saya punya dan lebih banyak bersyukur.
Pernah suatu ketika, pada salah satu mata kuliah, saya mendapatkan nilai C padahal itu adalah mata kuliah yang saya sukai dan saya sangat menikmati prosesnya. Menyadari bahwa alasan saya mendapatkan nilai C adalah karena keteledoran saya karena lupa memasukkan bagian paling penting dari tugas akhir, membuat saya makin terpuruk dalam penyesalan. Hingga suatu ketika, saya sedang berbicara dengan teman asli sana dan sampailah kami pada pembicaraan nilai tersebut. Saya mengucapkan selamat karena dia memperoleh nilai A dan saya hanya diberi nilai C.
Lalu, apa yang dia katakan selanjutnya membuka mata saya untuk berpikir lebih positif. Dia bilang, “Dedi, mendapatkan nilai C bukan sesuatu yang buruk. Setidaknya, kamu bisa lulus. Kami yang orang sini saja, kadang ada yang gagal, padahal kami sudah terbiasa dengan tugas-tugas tersebut. Coba kamu bayangkan, kamu jauh-jauh sekolah ke Manchester dari negaramu, bukankah itu merupakan sebuah hal yang perlu kamu syukuri?” Saya tidak tahu, apakah ia memang sedang menghibur atau merendahkan saya. Tapi, kemudian saya merasa ia ada benarnya juga. Saya harus menghargai proses yang telah saya lewati dan bagaimana caranya hasil dari proses tersebut dapat menjadi pembelajaran bagi saya.
6. Dalam Konteks digital dan teknologi, apa saja yang dapat direfleksikan dan barangkali dapat diterapkan di Indonesia?
Kita berjalan dengan kecepatan kita masing-masing. Inggris adalah negara maju. Wajar jika dalam beberapa hal, Inggris lebih baik daripada kita. Kita boleh merasa ketinggalan, tapi kita tak boleh berhenti berjalan. Kita harus tetap meminimalisir kekurangan kita dan memaksimalkan apa yang kita punya. Teknologi, misalnya. Indonesia, pada satu sisi, bisa dikatakan punya sumber daya teknologi yang cukup untuk mendukung pembelajaran. Tidak terlalu ketinggalan. Walaupun, tidak lebih baik juga. Cukup.
Poin yang menurut saya penting adalah memaksimalkan yang ada. Kita tidak boleh selalu melihat kelebihan orang lain sehingga lupa menghargai yang kita punya. Jika hal itu terjadi, kita akan dengan mudah bangga dan memuji-muji punya orang lain, dan menjelek-jelekkan milik kita sendiri. Kembali ke konteks teknologi. Terlepas dari isu pemerataan fasilitas pendidikan dan kesenjangan antara fasilitas pendidikan di kota dan di daerah pelosok, setidaknya kita sudah mengenal komputer, telepon genggam dan jaringan internet yang disupport oleh perusahaan telekomunikasi. Walaupun tidak selancar di kota-kota maju, kita bisa mencari cara bagaimana mengefektifkan yang ada. Menggunakan alat-alat yang mudah, tidak membutuhkan jaringan internet yang kuat, tetapi tetap dapat digunakan untuk memvariasikan proses pembelajaran.
Banyak platform-platform gratis yang bisa dimanfaatkan. Internet adalah sumber informasi terbesar yang bisa kita manfaatkan untuk memaksimalkan potensi belajar kita. Kembali lagi, tinggal bagaimana kita memaksimalkan dan mengelola. Untuk apa gawai kita beli? Apakah cuma untuk bersosial media saja? Nonton youtube saja? Main game online saja? Atau, kita sudah menggunakan untuk mengakses kuliah-kuliah gratis yang disediakan oleh kampus-kampus terbaik, mengakses artikel-artikel, podcast, dan video yang mendukung pembelajaran? Itu semua tergantung kita.
Satu lagi, kita tidak boleh latah terhadap teknologi. Teknologi baru mungkin memang lebih baik, tetapi jika kita tidak punya, ya tidak apa-apa. Teknologi yang lama, jika masih bisa dipakai, tentu juga tidak mengurangi esensi dari belajar. Di luar negeri, setidaknya dari pengalaman saya, tidak selalu dosen-dosen di sana menggunakan teknologi canggih, seperti yang kita tonton di film-film science-fiction untuk mendukung pembelajarannya. Mereka tetap juga menggunakan Powerpoint, memaksimalkan email untuk berkomunikasi, menulis di papan tulis, memakai laptop, dan juga menggunakan aplikasi, software dan platform gratisan pada beberapa kesempatan. Bukan pada teknologinya, tetapi bagaimana cara kita memanfaatkan teknologi tersebut.
Ada banyak sekali teknologi pembelajaran yang dapat kita akses secara gratis. Hanya saja, terkadang kita terlalu sibuk dongkol terhadap kekurangan, sehingga lupa pada kesempatan yang diberikan kepada kita.