Sore itu Ibu Hasanati mengatakan kepada saya, bahwa sehabis pelatihan Teacher Competency Development Program (TCDP), beliau akan terus belajar komputer. Ibu Hasanati berencana meminta tolong Pak Kasman untuk bisa mengajarinya, beliau pun mengatakan akan memberi upah ke Pak Kasman seandainya ia berkenan.
“Saya tidak ingin apa yang diajarkan adik-adik DPF menjadi terlupakan, makanya setelah ini saya akan terus belajar,” Kata Ibu Hasanati.
Ibu Hasanati adalah salah seorang peserta pelatihan TCDP yang kami laksanakan di SMK Pembangunan Silangkitang, Labuhanbatu Selatan. Hari pertama pelatihan menjadi awal saya bertemu dengannya, saat itu materi yang diajarkan adalah search engine dan pembuatan e-mail.
Ketika pelatihan telah selesai, di sudut yang berbeda saya melihat Ibu Hasanati sedang serius menatap laptopnya. Saya mendekatinya, ternyata ia gagal dalam membuat email. Di sisa waktu yang ada, saya mencoba mengajak Ibu Hasanati mengulangi cara-cara pembuatan email, melihat caranya dalam menggunakan laptop, saya berpikir barangkali ini adalah pertama kalinya Ibu Hasanati bersentuhan dengan laptop.
Ibu Hasanati mengantarkan saya kepada kenangan satu dekade silam. Saat saya akhirnya bisa bersentuhan dengan komputer. Sebuah benda mewah nan sakral yang kala itu menjadi simbol kemajuan perdaban.
Hadir di sini, saya masih terpaparkan kenyataan bahwa teknologi masih menjadi satu hal yang mewah. Laptop yang saat ini merupakan sesuatu hal yang harusnya biasa-biasa saja, masih dianggap sebagai barang mewah. Kemampuan menggunakannya masih menjadi kemampuan-kemampuan manusia setengah dewa.
Saya merasakan betul bagaimana kegugupan Ibu Hasanati dikesempatan pertama sentuhannya dengan laptop. Jarinya bergetar dan bagaimana ia begitu hati-hati sebelum mengklik mousepad laptopnya..
Wajar saja jika akhirnya Ibu Hasanati perlu didampingi secara benar-benar, ia tertinggal dari teman-temannya, namun ketertinggalannya tidak mematahkan semangatnya. Perkenalan pertama ibu Hasanati dengan laptop ini, akhirnya mencipta tekad yang kuat untuk mengikuti pelatihan.
Table of Contents
ToggleTotalitas ala Ibu Hasanati
Jika melihat Laptop Ibu Hasanati, kita akan dibawa ke era kemajuan teknologi masih diukur melalui Pentium. Laptopnya tebal dan masih menggunakan pengait. Ibu Hasanati baru membelinya seharga 1.800.000 rupiah.
Saat ia tahu akan ada pelatihan, ia langsung menyisihkan sebagian dari uangnya untuk dibelikan laptop. Ia kira pelatihan dibatalkan, tetapi ketika tahu akhirnya dilaksanakan ia pun dengan segera menghubungi saudaranya yang di kota untuk membelikan laptop, tidak apa-apa kalau bekas, karena segitu yang ia mampu.
Laptop Ibu Hasanati benar-benar menjadi citra dirinya sendiri. Penuh pengalaman, kokoh, bertekad tidak setengah-setengah tetapi masih punya ruang untuk hal baru sehingga bisa terus bertumbuh. Keduanya saling melengkapi, sebuah potret dari generasi yang lebih dahulu lahir sebelum kemajuan teknologi, tetapi tidak meletakkan egonya dan membentengi dirinya dari hal-hal baru, yang barangkali bisa saja ia elakkan.
Bersama laptop itu Ibu Hasanati terus tumbuh, tiap pelatihan saya selalu mengambil posisi berdiri tidak jauh darinya. Saya sering terkagum dengan Ibu Hasanati karena ia memahami setiap pengetahuan yang kami berikan, hanya saja ia belum terlalu luwes menggunakan jemarinya dalam mengklik, mengetik, dan memblok. Sebab itu hal paling dasar yang saya beritahukan ke Hasanati, yaitu menggunakan telunjuk kiri untuk mengklik dan menahan, lalu gunakan jari kanan untuk mengarahkan. Hal paling sederhana yang saya harapkan menjadi langkah awal Ibu Hasanati untuk terus tumbuh.
Potret Ibu Tangguh
Pada suatu sore, Ibu Hasanati bercerita tentang anaknya Rozi. Rozi kini bersekolah di salah satu SMA di daerah Ranto. Ia bercerita tentang Rozi kecil yang begitu berbahagia saat awal-awal mereka tinggal di sini, Silangkitang.
Ia dibawa suaminya ke Silangkitang dengan ketidaksetujuan keluarganya. Terlebih beberapa tahun lalu Silangkitang merupakan daerah yang jauh tertinggal dibandingkan dengan saat ini. Ibu Hasanati mengatakan karena kegirangan Rozi lah ia menjadi kuat untuk tinggal di sini waktu itu.
Sebagai pendatang , Silangkitang seakan telah menjadi rumahnya sendiri. Di sini ia merasakan kekerabatan yang kuat di tengah-tengah masyarakat. Kesunyian, jauh dari kota bukan lagi alasan untuk dijadikan beban.
Bagi saya dan teman-teman program support lainnya, dalam banyak kesempatan Ibu Hasanati sering menasehati kami, terutama terkait hal-hal kekeluargaan. Ibu Hasanati juga telah menjadi ibu kami selama berada di Silangkitang. Dalam beberapa kesempatan ia juga membuatkan kami teh saat di sekolah. Ia akan sedih jika seandainya teh buatannya tidak diminum.
Ibu Hasanati telah memberi lebih banyak dari yang kami beri, kehidupan dan semangat belajarnya adalah inspirasi tanpa henti. Ia ibu bersahaja yang mendidik ratusan muridnya dan juga kami yang selama dua minggu berinteraksi langsung dengannya.
Ibu Hasanati menguraikan banyak arti tentang belajar yang sesungguhnya. Ia menyadari batas hidup itu adalah keluhan yang hadir di dalam diri, bukan sesuatu hal yang mengganjal, bak jalanan terjal ia justru akan mengantarkan kita ke puncak kesuksesan.
Dua minggu pelatihan pertama di SMK Pembangunan Silangkitang, saya membuktikan bahwa apa yang pernah disampaikan oleh mas Fajar, Kepala Bidang Program DPF itu benar adanya. Bahwa hal yang tak ternilai yang akan didapatkan selama pelatihan adalah barisan doa-doa yang tulus dari para pendidik inspiratif disini, Ibu Hasanati salah satunya.