Awal Januari 2019, pertama kali saya tiba di Talang Tomi, dusun kecil yang mempertemukan saya dengan anak-anak di Kelas Jauh SDN 13 Lubai Ulu, Muara Enim Sumatera Selatan. Kesempatan menjadi Guru Pengabdi (GP) 2.0 Gerakan Muara Enim Cerdas ini merupakan tugas lanjutan untuk mengajar selama setahun yang telah dimulai oleh pendahulu saya, GP angkatan pertama.
Guru Pengabdi adalah sebutan bagi pengajar di Gerakan Muara Enim Cerdas, yang merupakan replikasi dari Indonesia Mengajar (IM). Mulanya Muara Enim Cerdas digagas karena berakhirnya masa tugas Pengajar Muda IM setelah lima tahun di Kabupaten Muara Enim. Pemerintah Daerah (pemda) dan Dinas Pendidikan di sana berpendapat bahwa gerakan guru mengajar di daerah pelosok Muara Enim ini sayang sekali jika berhenti. Maka, berkat kolaborasi pihak pemda, para penggerak pendidikan daerah, dan alumni IM yang berasal dari Sumatera Selatan, terbentuklah Gerakan Muara Enim Cerdas angkatan pertama terdiri dari delapan orang.
Ditempatkan di sekolah dengan kondisi yang jauh dari akses teknologi dan fasilitas yang tidak mumpuni, merupakan tantangan bagi saya dan teman-teman GP lain untuk memberi perubahan dan kesempatan belajar yang maksimal bagi anak-anak di dusun. Dalam kasus saya, di tengah fasilitas yang sangat kurang tersebut, suasana belajar anak-anak lah yang lebih penting.
Mengajar anak-anak yang rata-rata sangat aktif dan cenderung mudah bosan, menuntut saya harus kreatif. Tak jarang pula pelajaran kami habiskan di luar kelas. Selama pelajaran berlangsung, suasana di kelas juga sedapatnya harus kondusif, cara mengajar juga menggunakan metode fun learning, begitulah yang diajarkan sewaktu kami pelatihan. Kenyataannya, kelas saya selalu saja berisik.
Anak-anak di Talang Tomi memiliki semangat lebih untuk ke sekolah. Tak peduli dengan jarak sekolah yang jauh dari rumah mereka. Jika musim hujan, perjalanan ke sekolah menjadi tidak mudah dengan jalan tanah merah yang liat dan berlumpur. Mereka juga tidak mempermasalahkan kondisi sekolah yang hanyalah terdiri dari bangunan kayu dan lantainya dibiarkan tanah, disekat menjadi tiga ruangan, untuk masing-masing diisi oleh dua kelas atau kelas rangkap. Hampir setiap pagi ketika saya tiba di sekolah, anak-anak sudah ramai bermain sebelum jam masuk kelas.
Namun, semangat datang ke sekolah kadang tidak berbanding lurus dengan semangat belajar di dalam kelas. Anak-anak cenderung bosan mengerjakan soal atau mencatat materi dari buku panduan yang seadanya, rata-rata adalah buku-buku pelajaran kurikulum lama, itupun jumlahnya juga tidak seberapa. Seringnya satu anak berbagi dengan temannya. Di kelas 3 dan 4 yang saya ajar, untuk pelajaran seperti PAI, Olahraga, SBK, hanya ada satu buku dipakai bersama.
Membaca buku bersama setiap Minggu siang merupakan kegiatan yang sudah dimulai dari pendahulu saya. Bisa dikatakan ini kegiatan favorit anak-anak. Walaupun sekolah tidak memiliki gedung perpustakaan, berbagai macam buku bacaan dan majalah anak-anak tersedia hasil sumbangan dari berbagai pihak. Biasanya kami membawa buku bacaan ke kebun-kebun, atau ke rumah salah satu anak, sesuai kesepakatan sebelumnya. Kegiatan ini tidak hanya membaca buku saja, anak-anak kadang membawa permainan seperti congklak. Kadang-kadang kami bercerita, berburu buah-buahan yang sedang musim, dan kegiatan lainnya.
Mungkin seperti anak-anak, saya merasa sangat senang pula jika kami berkegiatan di luar kelas. Sebab saya merasa anak-anak ketika di dalam kelas energinya tidak seperti saat kami di luar. Terutama jika materinya menurut mereka sulit sekali. Saya berkesimpulan bahwa saya tidak terlalu berhasil ketika mengajar di dalam kelas.
Walaupun demikian, ada perubahan-perubahan kecil serta perkembangan menarik selama saya mengajar di Talang Tomi. Ketika anak-anak pertama kali dikenalkan pada alat musik pianika. Awalnya mereka tidak begitu tertarik memainkannya, apalagi menghafal not angkanya cukup sulit. Namun dalam proses belajar yang cukup panjang, beberapa anak-anak mulai piawai bermain dan ini menarik antusias teman-temannya. Perkembangan anak-anak dengan alat musik ini, kemudian membawa perubahan suasana di sekolah, terutama saat menyanyikan lagu wajib saat upacara bendera. Kelas Jauh SDN 13 Lubai Ulu dapat lebih nyaring dalam menyanyikan lagu wajib dengan akan diiringi pianika. Setiap pagi ketika saya tiba di sekolah pun juga berbeda, di bulan-bulan menjelang tugas saya berakhir, suara-suara pianika selalu terdengar sebelum pelajaran dimulai.
Sudah empat bulan berlalu semenjak saya pamit dari Talang Tomi awal Desember tahun lalu. Setelah saya pergi, anak-anak di sana kembali mendapat guru baru, yang berarti anak-anak kembali mempunyai teman untuk bersenang-senang di sekolah.
Sayangnya, kondisi seluruh negeri saat ini yang tidak memungkinkan siswa belajar di sekolah, juga berlaku untuk anak-anak di Talang Tomi. Mereka juga diharuskan belajar di rumah saja. Namun mereka tidak akan bisa belajar seperti anak-anak di luar sana dengan berbagai ruang belajar yang didukung teknologi. Di sana belumlah terjangkau listrik, tidak ada sinyal telepon, apalagi internet. Sebaliknya, mereka diberi tugas dan peer saja untuk dikerjakan di rumah, akan dikumpul ketika waktunya bersekolah lagi setelah pandemi ini reda.
Entah kapan waktu itu tiba. Barangkali anak-anak di sana menganggap belajar di rumah ini adalah libur panjang saja. Sebab, kondisi ini tak ada bedanya bagi mereka dengan hari libur, dengan tambahan tugas di rumah. Waktu untuk mereka belajar di luar juga menjadi hilang, sebab seruan social distancing juga membuat mereka tak bisa berkumpul serupa biasa. Pengalaman satu tahun bersama mereka, membuat saya paham bahwa cara belajar yang ampuh buat sebagian besar anak-anak di sana adalah dengan menjadikannya bermain di luar ruangan, dibanding setumpuk tugas rumah.
Saya hanya berharap negeri ini segera pulih, situasi kembali normal, dan anak-anak di manapun bisa kembali bersekolah, berkumpul dan bermain sembari belajar melalui eksperimen nyata di luar kelas.