Prof. Wolfgang Schulz, anggota Committee of Experts on Internet Intermediaries, menjelaskan latarbelakang, teknis, dan juga kritik atas diberlakukannya undang-undang yang berkaitan khusus untuk menangani fake news dan hate speech online (NetzDG) di Auditorium Perpustakaan RI, Rabu, (20/2).
Kuliah umum ini diselenggarakan oleh ELSAM dan ICT Watch dengan tujuan untuk memahami konteks NetzDG, agar kemudian bisa menjadi acuan/rekomendasi bagi Indonesia dalam menangani kasus serupa seperti hoaks dan ujaran kebencian melalui platform media sosial.
Wolfgang memulai kuliahnya dengan menampilkan sejarah fake news yang terjadi pada abad 19. Dimana pada tahun 1800an, terjadi disinformasi yang berkaitan dengan permasalahan politik. Pada masa kampanye pemilihan presiden antara Jefferson vs Adam di Amerika Serikat, beredar rumor bahwa Jefferson (salah satu kandidat) telah meninggal dunia, sehingga tidak ada gunanya memilih Jefferson karena ia telah meninggal. Pada saat itu tidak ada platform media sosial seperti sekarang, sehingga upaya untuk menanggulangi permasalahan disinformasi menjadi lebih sulit.
Namun dalam dinamikanya, penggunaan media sosial kini juga tidak lepas dari beragam polemik fake news dan ujaran kebencian yang tidak jarang menimbulkan permasalahan sosial di masyarakat. Menurut Wolfgang, ada tujuh poin utama yang menyebabkan online speech bisa berbahaya. Tujuh poin tersebut adalah akselerasi, volume, attribution, limited social control, observability, persistence, dan jurisdiction. Tujuh poin ini pada dasarnya melihat celah pada pengawasan dan kurangnya transparansi yang melindungi bias dari penyedia platform media sosial untuk menanggulangi konflik dari adanya fake news dan ujaran kebencian tersebut.
NetzDG sendiri disahkan pada tanggal 1 Oktober 2017 dan mulai efektif berlaku pada 1 Januari 2018 di Jerman. Secara umum, NetzDG lebih menitikberatkan tanggungjawab pada penyedia platform media sosial dan mengharuskan adanya mekanisme penanganan komplain konten ilegal secara transparan. Mereka juga harus bersedia untuk menghapus konten yang masuk dalam kategori illegal berdasarkan aturan NetzDG.
Wolfgang menambahkan, kritik utama atas NetzDG ini terkait dengan hal penghormatan hak berekspresi dan berpendapat yang dikhawatirkan dapat mencederai demokrasi. Untuk itu, Ia menyatakan perlunya kajian ulang apabila suatu negara berencana mengikuti jejak regulasi di Jerman ini. Sangat penting untuk memperhatikan konteks kebutuhan masing-masing negara, karena tanpa konteks dan konsep yang tepat, peraturan ini akan menimbulkan polemik baru yang justru akan menarik mundur makna demokrasi dari para penganutnya.