Apa kabar para pendidik bangsa? Masihkah di dalam diri tersemat semangat menggebu? Masihkah ingat alasan kenapa memutuskan menjadi guru?
Mari kita kembali ke masa-masa memutuskan menjadi guru. Bila dirunut satu persatu, maka biasanya beberapa alasan seseorang menjadi guru adalah karena ingin mencerdaskan anak bangsa, karena profesi guru itu mulia, ada juga yang memilih profesi guru karena tuntutan orang tua, dan juga karena menganggap profesi guru bisa menjadi “investasi dunia akhirat”.
Investasi akhirat yang dimaksud di sini adalah investasi pahala, dengan harapan setiap ilmu yang ditransfer ke peserta didik akan mengalir pahala untuk dirinya. Hal ini berkorelasi jika yang ditransfer adalah ilmu yang benar. Benar konsepnya, benar prosedurnya, dan benar penyampaiannya. Sehingga ketika anak mengamalkan ilmu tersebut, pahala akan terus mengalir sepanjang hayat. Bahkan ketika usia lapuk berkalang tanah, itulah yang mejadi amal jariah. Namun, jika ilmu yang diajarkan itu salah atau terjadi malpraktik ilmu kepada siswa, maka tentunya investasi pahala berganti dengan dosa. Sehingga, juga menjadi dosa jariah.
Bila dalam membangun rumah terjadi kesalahan membuat pondasi, maka bangunan itu bisa dibongkar dan dibuat ulang pondasinya sesuai dengan tujuan semula. Namun jika seorang guru salah membangun pondasi dalam pikiran anak-anak, maka bagaimana cara membongkar dan menggantinya?
Menurut para ahli, bahkan butuh waktu sepuluh tahun untuk membersihkan hal yang salah yang telah disimpan pada anak-anak, itupun jika dilakukan berulang-ulang. Maka tak salah jika dikatakan bahwa seburuk-buruk kemungkinan yang terjadi dengan malpraktiknya dokter adalah membuat pasien mati. Selesai, case closed. Namun, malpraktiknya guru bisa menyebabkan seseorang menderita dunia akhirat.
Bisa dibayangkan bagaimana beratnya menjadi guru, karena tanggungjawabnya berpengaruh dunia akhirat. Bila salah mengajar bukannya menyelamatkan peradaban manusia, malah menuju gerbang kehancuran dan selanjutnya menjerumuskan ke neraka. Maka tak salah jika dikatakan bahwa guru adalah profesi yang nekad, karena dengan profesi ini surga dan neraka menjadi dekat. Itu baru ditilik dari segi niatnya saja.
Bila ditilik dari segi tugas, maka setiap guru terikat oleh Permendikbud No 15 Tahun 2018. Dimana guru dibebankan dengan lima tugas pokok. Kegiatan tersebut diantaranya adalah merencanakan pembelajaran dan pembimbingan dengan membuat administrasi seperti program tahunan, program semester, rancangan pelaksanaan pembelajaran dan sebagainya. Kemudian melaksanakan pembelajaran melalui kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Tugas selanjutnya adalah menilai hasil pembelajaran atau pembimbingan. Membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan kegiatan pokok sesuai dengan beban kerja guru.
Kelima tugas pokok tersebut merupakan tugas yang terus berkelanjutan. Untuk memenuhi kelima tugas di atas maka dibutuhan waktu yang tidak sedikit. Bila pekerjaan lain hanya membutuhkan 8-10 jam kerja, setelah itu bisa beristirahat, maka guru membutuhkan 24 jam waktunya untuk melaksanakan tugas tersebut secara ideal. Mulai dari membuat administrasi, melaksanakan, menilai, mengolah hingga membimbing. Tak lupa juga karena guru itu digugu dan ditiru, maka waktu yang 24 jam itu juga dituntut untuk memberikan teladan yang baik bagi sekelilingnya, khususnya peserta didik. Teacher do double job.
Banyaknya tugas di atas tidak akan terasa jika anak yang dididik menghargai apa yang dilakukan gurunya. Namun belakangan ini banyak kita lihat kasus penganiayaan guru oleh siswa, orang tua, dan oknum-oknum tertentu. Masih ingat di benak kita kasus meninggalnya Ahmad Budi Cahyono salah seorang guru seni rupa Sekolah Menengah Atas 1 Torjun, Sumenep, Jawa Timur yang dipukul oleh siswanya. Hanya karena Budi mencoret wajah siswa ketika tertidur di kelas. Betapa remeh alasan yang digunakan dalam melakukan hal tersebut kepada seorang guru. Bapak Budi meninggal bukan karena apa-apa, Bapak Budi meninggal karena hilangnya budi pekerti.
Dari beberapa hal di atas dapat disimpulkan bahwa menjadi guru itu berat. Berat tugasnya, berat tanggung jawabnya, dan berat juga resikonya. Belum lagi kita membahas masalah gaji, kesejahteraan, dan sebagainya. Namun apapun itu, semoga guru-guru di seluruh penjuru Indonesia tetap semangat mengemban amanah yang mulia ini. Jadi guru itu berat, maka kuatkanlah semangatmu.