“Saya dibesarkan dari pembuangan sampah, oleh karena itu saya mengerti bagaimana mereka diremehkan dan dianggap tidak memiliki masa depan.” (Resa Boenard, Pendiri Komunitas BGBJ).
Ketika masih kecil, Resa sempat mengalami perundungan akibat bau sampah yang menempel di tubuhnya, ia juga kerap dipanggil dengan julukan putri sampah dari Bantar Gebang oleh teman-temannya. “Saya dibesarkan dari pembuangan sampah, oleh karena itu saya mengerti bagaimana mereka diremehkan dan dianggap tidak memiliki masa depan,” tuturnya Sabtu (3/11).
Berangkat dari pengalaman tersebut, Resa Boenard kemudian mendirikan komunitas The Kingdom of Bantar Gebang atau yang lebih dikenal dengan sebutan Biji-Biji Bantar Gebang (BGBJ) pada akhir Desember 2014.
Komunitas ini terletak di tengah hamparan bukit-bukit sampah di tempat pembuangan akhir Bantar Gebang, Bekasi. Ditempat itulah anak-anak dan remaja memupuk mimpi mereka untuk merajut masa depan yang lebih cerah. Resa mengumpamakan anak-anak dan para remaja di Bantar Gebang sebagai bibit unggul atau benih, yang nantinya bisa tumbuh dimana saja menjadi sebuah pohon yang kuat dan bermanfaat bagi orang lain. “Inilah filosofi dari BGBJ,” terangnya.
Resa menambahkan seharusnya orang luar memberikan motivasi untuk anak-anak yang di Bantar Gebang bukan mematahkan semangat mereka. “Saya selalu bilang ke mereka tak apa kamu memiliki mimpi besar, jika kamu bisa mencapai setengah dari mimpi kamu, kamu dikatakan berhasil,” ungkapnya.
Sebelum bertransformasi menjadi BGBJ, komunitas ini bernama Sanggar Satu Untuk Semua. Konsep BGBJ sudah mulai berkembang dengan program pendidikan dan kegiatan yang beraneka ragam. Diantaranya kelas bahas inggris, informasi dan teknologi, olahraga, kesenian, kesehatan dan gizi, serta musik. Semua kegiatan tersebut dilakukan setiap hari Minggu. Selain itu, BGBJ juga memberikan ruang untuk mengasah keterampilan anak-anak didik dengan memanfaatkan alat-alat bekas di tempat pembuangan sampah. Sehingga mereka juga menghasilkan produk seperti name tag dari kayu, peralatan rumah tangga, dan aksesoris.
BGBJ mempunyai 50 sampai 70 anak didik dengan tenaga pengajar yang pada umumnya merupakan volunteer. Kebanyakan dari volunteer berasal dari luar Indonesia seperti Australia, Jerman, Inggris, dan Belanda. Ada sekitar 300 volunteer yang keluar masuk membantu BGBJ selama tiga tahun terakhir.
BGBJ juga tidak lepas dari beragam kendala dan tantangan, Resa mengakui bahwa pada beberapa kesempatan, ia harus siap menghadapi beragam reaksi masyarakat atas komunitasnya ini.
Resa pernah dianggap sebagai skismatik sehingga kehadiran BGBJ dikaitkan dengan agama. Padahal Resa sama sekali tidak ada kepentingan lain selain membentuk komunitas belajar. BGBJ sendiri juga kerap kesulitan dalam mendapatkan volunteer yang benar-benar ingin membantu dan memiliki semangat kerelawanan yang baik. Resa mengatakan bahwa pernah ada salah seorang volunteer yang menggalang dana tanpa sepengetahuan pihak BGBJ dan tidak pernah memberikan dana tersebut ke pihak BGBJ. Selain itu, kendala pada pendanaan juga sering menyebabkan beberapa program BGBJ tidak dapat dilaksanakan secara maksimal.
Dini Fitria sekarang menjadi kepala sekolah dari BGBJ, menjelaskan bahwa ia mulai belajar di BGBJ dari umur empat tahun. Dini juga mengalami perundungan karena berasal dari Bantar Gebang. “Saya tidak putus asa, dengan prestasi dan kemampuan yang dimiliki, saya bisa mematahkan omongan mereka,” terang gadis yang berusia 18 tahun ini. Dini mengakui jika di BGBJ kekeluargaan sangat terasa dan suasana belajarnya pun sangat menyenangkan karena selalu diberi motivasi. “Tak ada hal yang tak mungkin jika kita mau berusaha,” ungkapnya.
Dengan BGBJ, Resa berharap dapat menjadi alternatif bagi anak didik memperoleh pengetahuan agar terputusnya siklus kemiskinan serta terciptanya lingkungan yang aman bagi mereka. Selain itu, Resa juga berharap mereka memperoleh pendidikan yang layak. “Bagaimanapun caranya mereka harus kuliah,” tutupnya.