Media Sosial dan Generasi Milenial

Media Sosial

Akhir-akhir ini kita sempat diramaikan dengan pembahasan terkait Generasi Y (Gen-Y), yaitu istilah yang diperuntukan bagi mereka yang lahir pada kisaran tahun 1981-1999. Di Indonesia sendiri, terdapat lebih dari 80 juta Gen-Y pada tahun 2010 dan akan meningkat 90 juta pada tahun 2030. Ini berarti 1/3 masyarakat Indonesia adalah generasi Y (Irviene Maretha, 2014)

Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Irviene Maretha pada situs MarkPlus Institute, menyatakan bahwa secara teoritis, suatu generasi terbentuk sebagai kelompok yang memiliki kesamaan tahun kelahiran, umur, lokasi, dan life events yang signifikan pada tahap kritis perkembangannya. Ia menambahkan, di Indonesia perbedaan life events antara generasi X dan Generasi Y yang siginifikan terletak pada perubahan teknologi yang begitu masif dimasa tumbuh kembang generasi Y. Demokratisasi internet diikuti dengan berkembangnya teknologi digital di keseharian generasi Y membuat mereka sangat familiar dengan smartphone dan tidak bisa lebas dari internet.

Mengutip ulasan yang ditulis Femina, secara singkat, Gen-Y adalah generasi yang tumbuh di tengah hiruk pikuknya perkembangan teknologi wireless. Paparan teknologi juga memengaruhi kepekaan Gen-Y terhadap perubahan. Mereka tidak takut perubahan, namun sering kali tak sabar melalui proses menuju perubahan itu. Mereka adalah generasi yang akrab dengan internet dan sangat aktif dalam media jejaring sosial. Gen-Y dikenal sebagai generasi yang egosentris, berpusat pada diri sendiri dan senang unjuk diri. Majalah Time menyebut generasi ini sebagai ‘me me me generation’.

Karakter mereka, menurut riset Nielsen, sangat menginginkan interaktivitas, mencari pengalaman panca indera langsung dalam pemasaran, mendambakan kecepatan (growing impatience), haus akan pengalaman (activation) dan gaya hidup yang bergerak cepat dan selera yang cepat berubah (prosumer). Interaksi mereka dengan media sosial membuat mereka kritis, dan anti pemaksaan.

Dalam beberapa kasus, Gen-Y kerap dilekatkan dengan stereotip tidak menghormati orang tua dan lebih bandel atau susah diatur serta memiliki tingkat narsisme yang akut.

Bagi yang masih ingat, beberapa waktu yang lalu kasus pemilik akun instagram Awkarin (Karin Novilda) sempat meramaikan media sosial terkait beberapa postingannya yang dianggap merusak moral dan judgment serupa lainnya.

Di sisi lain, banyak yang menganggap bahwa Awkarin adalah gambaran generasi milenial yang kreatif sehingga dapat meraup banyak keuntungan melalui media sosial. Seperti dilansir oleh Beritagar, bahwa Awkarin bisa mendulang Rp32 juta per dua hari dari hasil endorse-an (sokongan) barang online yang dia promosikan melalui media sosial.

Kita hari ini cenderung lebih menyukai konten dengan foto dan video. Artikel dengan gambar yang besar akan mendapat perhatian lebih dibanding yang tidak, postingan dengan video akan mendapat rata-rata lebih tinggi dibanding teks, hal ini menurut Peter Cahsmore dalam Times, karena kita dibombardir oleh informasi setiap saat.

Pada akhirnya adalah cara pandang. Apakah kita ingin melihat media sosial dan kecenderungan Gen-Y sebagai tantangan atau kesempatan. Kecepatan dan kebebasan akses yang dihadirkan melalui beragam media sosial menghubungkan banyak orang dengan kesamaan hobi, ini menjadi salah satu poin bahwa dualitas selalu hadir di ruang-ruang manapun dan dengan medium apapun. Tumpuannya adalah mindset dan kemampuan dalam melihat kesempatan yang dihadirkan oleh petarungan di area global village ini.

Bagikan Artikel ini di :